Senin, 03 November 2008

Biografi Pater Beek

SIAP TAK DIPANDANG

Data Buku :
Judul : Pater Beek, sj - Larut Tetapi Tidak Hanyut
Penulis : JB Sudarmanta
Penerbit : OBOR
Cetakan : I - September 2008
Tebal : XIII + 272 hlm

Educatio puerorum reformatio mundi
Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia


Taman Getsemani pada waktu malam adalah keheningan yang dalam. Perhentian akhir dari peziarahan dan sekaligus tempat istirahat abadi para Yesuit di Indonesia itu, bagi para frater novis Serikat Yesus sering pula menjadi perhentian saat mereka menunaikan tugas jaga malam.

Oleh : B. Josie Susilo Hardianto


Di depan nisan-nisan para Yesuit yang telah berpu­lang para muda Serikat Yesus Indonesia itu kerap me­lewatkan keheningan dini hari dalam doa-doa dan kenangan atas karya para pendahulu. Da­lam kenangan dan doa atas me­reka yang telah beristirahat ke­kal tersebut, para pemuda yang baru menapaki jalan panggilan imamat menimba kobaran se­mangat karya yang berbasis pa­da Latihan Rohani Santo Igna­sius Loyola.Pada deretan nisan-nisan pu­tih sederhana itu ada nama Ni­colaus Driyarkara SJ, seorang flu­suf yang saat ini namanya di­abadikan sebagaimana nama Se­kolah Tinggi Filsafat. Lalu ada na­ma Josephus Gerardus Beek SJ, biasa dipanggil Pater Beek, to­koh yang tak jarang disebut de­ngan diam-diam oleh para novis. Mengapa? Salah satu karyanya saat membina anak-anak muda melalui khalwat sebulan (kha­sebul) kerap dinilai sebagai pro­ses kaderisasi elite, serba raha­sia, dan terkesan sembunyi-sem­bunyi. Selain itu, proses kade­risasi yang digarap dengan menggabungkan latihan fisik yang keras, serba spartan dan latihan doa yang intensif, sempat mengundang banyak reaksi.Tak jarang yang menolak cara pendekatannya itu mengatakan, Beek adalah penganut Machia­velli. Tentang itu, kadang keba­nyakan orang lantas hanya ber­henti pada karyanya di khasebul dan menempatkannya sebagai sosok yang keras, tegas, kadang sedikit kasar karena melibatkan hukuman fisik, seperti tampan­an.Karena itu, dengan mudah ia diposisikan pada pribadi yang kontroversial. Tentu saja, bagi yang mengenal atau pernah menjadi anak didiknya, Beek bu­kanlah seperti itu. Ia mungkin kontroversial justru karena prin­sipnya yang tegas, tidak terbawa arus, percaya diri, dan tidak se­tengah-setengah.Bagi orang sekelas Beek, ia memang tidak mau menampak­kan diri. Keugaharian (asketis) dipegangnya teguh sehingga ia tidak hanyut dalam popularitas. Namanya dikenal, tetapi orang jarang melihat sosoknya. “Di du­nia ini jangan bikin monumen, nanti kamu akan kesulitan kalau mau mati,” kata Pater Beek.Jiwanya yang dikobarkan oleh semangat Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola telah menem­patkannya sebagai garam dalam setiap karya yang ditekuninya. Ketekunan itu membuahkan ha­sil-hasil unggul, tercetak pada kader-kader binaannya atau me­lalui pengaruh pemikiran yang dapat mengubah dunia. Setiap orang yang terlibat merasakan, tetapi tak melihat sosoknya dan memang begitulah garam, ada sekaligus juga tidak ada.Pribadi kritisDalam buku biografi yang di­tulis oleh JB Soedamanta dan diterbitkan oleh Obor ini, hal-hal yang sebelumnya disebut remang dan penuh kontroversi itu dikupas. Dalam buku setebal 272 halaman itu, Soedarmanto juga memasukkan surat terbuka Pater Beek untuk Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Indo­nesia.Surat itu penuh kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Soekarno yang dinilai memberi ruang besar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan menggunakan nama samaran Dadap Waru, dalam surat bertanggal 5 November 1965 itu ia mendo­rong agar Bung Karno bersikap tegas terhadap PKI.Selain pernah berkarya seba­gal Kepala Asrama Realino, Pa­ter Beek juga pernah berkarya dan turut mengawali Biro Do­kumentasi. Biro Dokumentasi adalah sebuah biro yang didi­rikan oleh Serikat Yesus Provin­si Indonesia pada tahun 1961 Se­masa Pater Georgius Kester menjadi Provinsial. Biro itu me­nyediakan bahan-bahan studi dan analisis keadaan berdasar­kan tolok ukur ajaran dan mo­ralitas Katolik agar dapat dipergunakan bagi para aktivis.Dalam kegiatannya, biro itu menyiarkan dokumen mengenai kebijakan pemerintah dan eva­luasi atas berbagai kejadian pen­ting di Indonesia. Apa yang di­lakukan Biro Dokumentasi itu kemudian menjadi asupan bagi masyarakat, khususnya umat Katolik di Indonesia, untuk menghadapi perkembangan so­sial, politik masyarakat, serta bersikap kritis terhadap peme­rintah.Hal itu ditunjukkan dengan kedekatan Gereja Katolik de­ngan Bung Karno, tetapi sekaligus berjarak. Partai Katolik, misalnya, berani membentuk Li­ga Demokrasi dan tidak men­dukung Nasakom serta menolak Konsepsi Presiden yang mem­buka pintu masuk bagi kaum komunis.Menurut Beek, Gereja Katolik tidak hanya menjadi sumbangan bagi masyarakat, tetapi ia juga berkeyakinan, Gereja juga me­miliki prinsip-prinsip yang tepat untuk menghadapi masalah. Me­nurut dia, kerasulan intelektual sangat penting dan diperlukan saat itu. Analisis yang dihasilkan Biro Dokumentasi kemudian diedar­kan kepada aktivis yang terlibat dalam Front Pancasila dan Sek­ber Golkar. Biro itu, antara lain, menghasilkan kajian tentang sosialisme yang kemudian mempertemukannya dengan in­tepretasi gagasan sosialisme yang disodorkan PKI. Dalam bu­ku tentang Pater Beek ini, ga­gasan dan kajian lain yang di­hasilkan Biro Dokumentasi di­masukkan dengan lengkap oleh Soedarmanta.Namun di sisi lain, dituliskan juga gagasan Pater Beek tentang Katolisitas. Ia berpendapat, ke­agamaan, dalam hal ini keka­tolikan, bukan hanya sebatas agama dan institusi.Soedarmanta menuliskan, Pa­ter Beek berpendapat bahwa da­lam perkara-perkara sosial atau kemasyarakatan sebetulnya “bendera” Katolik tidak diper­lukan lagi karena dalam konteks keindonesiaan, hal itu justru bisa menjadi penghalang kebersama­an.Disebut penghalang karena dapat membangkitkan ikatan primordialisme, semangat sekta­rian, dan ideologisasi agama. Akibatnya, orang Katolik tidak harus hanya “duduk” di partai Katolik (hal 202).Untuk itu, Pater Beek mem­bebaskan anak didiknya dan ka­der yang dibinanya untuk me­milih partai yang mau mene­rima dan sesuai dengan aspirasi mereka dan dapat memberi kontribusi terbaik.Sebelum Golkar muncul, Pa­ter Beek, tulis Soedarmanta, menganjurkan orang-orang Ka­tolik masuk PNI sehingga pada masa itu ada istilah Markatul (Marhaen Katolik). Namun, di bagian lain disebutkan, ketika seorang anak didiknya bertanya pada partai manakah ia harus masuk, Pater Beek menjawab, “Terserah kamu, pilih sesuai dengan suara hatimu! Itu tugas­mu dan bukan tugasku,” kata Beek.Dalam buku itu juga ditulis­kan tentang sikap Pater Beek yang amat antikomunisme dan anti-PKI. Sebagai róhaniwan, si­kap itu didasari dan ketegasan­nya pada prinsip bahwa Panca­sila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar kebersa­maan sebagai bangsa yang paling masuk akal dan rasional.KaderisasiNamun, sebagai rohaniwan dan pendidik, Pater Beek lebih tertarik dalam pembinaan anak-anak muda. Pada akhir ta­hun 1966 ia memulai program Khasebul. Pendidikan selama sa­tu bulan itu pada dasarnya ada­lah pendidikan kerohanian de­ngan menitikberatkan pada doa dan meditasi, pengenalan situasi konkret masyarakat, dan diper­kaya dengan Ajaran Sosial Ge­reja Katolik (hal 180).Menurut dia, kader adalah orang yang mampu menggetar­kan dunia; merombak keadaan masyarakat dengan kelompok kecil; menjadi tulang punggung masyarakat; atau menjadi inti dalam suatu lingkungan masya­rakat. Menjadi kader, berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikir­kan dalam batas-batas yang di­tentukan moral dan etika.Ada militansi, ada sikap mau berbuat lebih, berani merasuk dalam sejarah manusia dan menghadirkan harapan. Landas­an iman atas upaya itu adalah jika seseorang merasa menjun­jung tinggi cinta kasih sebagai kebajikan tertinggi, tetapi tidak bertindak apa pun di hadapan kekerasan politik dan pelanggar­an hak asasi manusia terhadap sesama warga negara, de facto telah melanggar cinta kasih yang dimuliakannya itu (hal 183).Untuk mencapai titik terse­but, dalam proses mendidik ka­der, cara yang dligunakan Pater Beek kerap kali mendatangkan kritik. Caranya dan prinsipnya kerap disalah mengerti, bahkan oleh anak didiknya sendiri.Pater Beek berpendapat, ma­nusia bukan jiwa dan raga, rohani dan jasmani. Manusia adalah penuh jiwa-raga atau roh jasmani.Dalam ilmu psikologi, tulis Soedarmanto, Pater Beek dekat sekali dengan teori identitas yang dirumuskan oleh JCC Smart. Smart menyatakan bahwa ke­tangguhan badan itu juga keta­hanan jiwa. Orang yang tidak tahan sakit pasti juga akan mudah menyerah bila disakiti. Tidak mengherankan jika da­lam khalwat sebulan, selain la­tihan rohani, para mahasiswa yang dididik juga memperoleh penggemblengan fisik yang ketat lagi spartan. Ditampar, diren­dam dalam air dingin, dlikeru­buti nyamuk dengan tangan dan kaki terikat pada kursi adalah latihan-latihan yang diterapkan Pater Beek terhadap anak di­diknya.Bagi mahasiswa yang mudah marah atau kurang sabar, dilatih sabar dengan mengikat tangan dan kakinya di kursi pada ma­lam hari dan diminta menahan gigitan nyarnuk. Setelah satu atau dua jam latihan, si maha­siswa kemudian diajak berefleksi bersama. Namun, ia tetaplah pendidik yang sesungguhnya ti­dak tahan melihat anak didiknya takut kena hukuman.Pada prinsipnya, upaya itu merupakan sarana agar setiap mahasiswa yang dilatih menge­nal diri dan terbentuk karakter unggulnya. Keunggulan itu bu­kan semata-mata tahan deraan fisik, lebih dari itu, keunggulan itu dlitandai dengan doa dan si­kap bakti, asketis serta berdi­siplin tinggi, memiliki sikap dan berani, tetapi sekaligus penuh empati. Seolah ia memang se­ngaja ingin menandai anak di­diknya sebagaimana Ia ingin menandai namanya big dalam ba­hasa Inggris yang berarti besar, tidak tanggung-tanggung dan bukan beek dalam bahasa Be­landa yang berarti anak sungai.“Menjadi kader berarti men­jadi sesuatu yang lain dari yang lain; Keranjingan dalam menja­lankan apa yang dipikirkan da­lam batas-batas yang ditentukan moral dan etika,” kata Pater Be­ek.Anak AmsterdamJosephus Gerardus Beek lahir di Amsterdam, Negeri Belanda, pada tanggal 12 Maret 1917. Ciri khas orang Amsterdam yang blakblakan, suka terus terang dan ekspresif, sedikit terkesan arogan menjadi ciri khas Beek pula.Beek lahir sebagai bungsu da­ri empat bersaudara. Ia lahir ke­tika Perang Dunia I meletus. Se­telah masuk ke Serikat Yesus dan menjadi novis tahun kedua, ia dikirim ke Indonesia.Sejak anak-anak ia dididik di Kolese yang dikelola oleh Imam-imam Yesuit. Sejak anak-anak pula itu dididik untuk tidak bersikap setengah-sete­ngah. Beek muda sejak awal ter­gembleng dalam Iingkungan pendidikan Yesuit yang mema­dukan antara humanisme dan religiositas. Ketika menjadi novis, sema­ngat mudanya dikobarkan de­ngan gairah pergi ke tanah misi, Hindia Belanda, yang sekaligus secara politis adalah tanah ja­jahan di bawah Pemerintah Ke­rajaan Belanda, negerinya. Ke­tika Jepang menduduki Indone­sia, Pater Beek pernah meng­huni kamp interniran.Dalam buku ini. kisah di kamp itu juga menjadi ilustrasi pembentukan diri Beek yang spartan. Setidaknya, pengalaman itu menguatkan gagasannya da­lam menggembleng mahasiswa­nya. Dan karena itu buku ini layak dibaca bukan karena se­mata-mata tokohnya yang masih kerap dianggap kontroversial dan penuh misteri, tetapi bu­ah-buah rohani dan Latihan Rohani yang adalah dasar dan sikap dan pilihan perbuatan yang mengobarkan jiwa Pater Beek serta anak didiknya.Menjadi garam adalah asin dan siap untuk melebur hilang dan tak dipandang, tetapi selalu te­rasa.

__._,_.___

Tidak ada komentar: