Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jhonson Pandjaitan menilai, penerapan pidana hukuman mati yang tercantum dalam KHUP pasal 10 inkonstitusional dan bertentangan dengan HAM.
Penilaian Jhonson itu didasarkan pada pasal 28a dalam perubahan kedua UUD 1945 yang menjelaskan bahwa, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya sehingga hukuman mati bertentangan dengan HAM yang dianut konstitusi kita saat ini.
Menurut dia, peraturan yang mengatur HAM bukan hanya tercantum dalam konstitusi saja, tetapi tercantum juga dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Undang Undang No 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM. Dijelaskannya juga, di dalam demokrasi hak hidup merupakan hak paling mendasar sehingga syarat mutlak dalam negara demokrasi mengharuskan adanya jaminan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak hidup. Tanpa itu demokrasi menjadi kosong.
Indonesia sendiri bersama 156 negara lainnya, baik secara de jure dan de facto telah meratifikasi kovenan internasional hak hak sipil dan politik yang disahkan dalam Majelis Umum PBB, yang kemudian oleh pemerintah diadopsi ke dalam UU No 12 tahun 2005.
Penerapan hukuman mati di Indonesia sebagai hukuman tertinggi, dikatakan Jhonson, tidak efektif untuk menghentikan kejahatan di Indonesia karena diterapkannya hukuman mati belum tentu dapat mengubah perilaku masyarakat.
"Hukuman mati sebagai hukuman tertinggi untuk shcok theraphy tidak efektif untuk menghentikan kejahatan di Indonesia. Hukuman mati yang diterapkan di Indonesia tidak akan mengubah perilaku masyarakat tapi lebih dilihat sebagai tindakan balas dendam," kata Jhonson kepada KABAR beberapa waktu lalu.
Jhonson juga mengatakan, hukuman mati akan sangat berbahaya jika dipolitisasi. Jika demikian halnya maka, proses peradilan di Indonesia dapat berubah menjadi ladang komoditi dan sangat berbahaya dalam praktik penegakan hukum.
Senada dengan Jhonson, Koordinator Kontras Usman Hamid mengatakan, selain hukuman mati melanggar HAM, konstitusi, sejumlah undang undang dan peradaban dunia, penerapan hukuman mati tidak dapat memberikan efek jera karena sistem peradilan di Indonesia saat ini korup. Dirinya khawatir, penerapan hukuman mati yang dianggap dapat menciptakan keadilan justru akan menimbulkan unsur-unsur ketidakadilan dalam prosesnya. Karena itu, Usman mengingatkan bahwa sistem hukum diciptakan bukan untuk hukum balas dendam sehingga pencapaian keadilan menjadi tidak didapatkan.
Dualisme Perundangan
Pada tingkatan perundangan sendiri, Usman melihat adanya dualisme atau pertentangan dalam tubuh perundang-undangan itu sendiri dalam melihat hak hidup dan hukuman mati. Di satu sisi, Negara menjamin dan mengakui hak hidup namun di sisi lain, pemerintah melalui perundangan masih menerapkan hukuman mati.
"Pemerintah seharusnya meratifikasi segala perundangan turunannya mengikuti UU diatasnya," kata Usman belum lama ini.
Adanya pertentangan di tingkatan Undang Undang menurut Usman, tidak lebih karena tidak adanya paradigma perubahan hukum dalam perspektif HAM dari pemerintah, yang dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.
Menurut Usman, pemerintah membuat moratorium (penundaan-Red) terhadap penerapan pidana hukuman mati. Yang dimaksudkan disini bukanlah penghapusan hukuman kepada terpidana melainkan memberi keringanan selain eksekusi pidana mati. Hal ini, mencegah terulang kembali kasus Sengkon dan Kerta, kedua terpidana mati yang telah di eksekusi namun belakangan keduanya dinyatakan tidak bersalah. Lainnya, mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi dan melakukan harmonisasi UU hingga produk-produk hukum turunannya.
Penolakan Hukuman Mati
Penolakan terhadap hukuman mati dilakukan melalui berbagai cara, baik melalui jalur hukum maupun aksi demonstrasi. PADMA Indonesia, salah satu lembaga advokasi yang menangani kasus terpidana mati kasus Poso Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu telah berkali-kali mengajukan permohonan grasi kepada Presiden walau akhirnya ditolak. Selain itu, pengajuan PK (Peninjauan Kembali-Red) kepada Mahkamah Agung pun ditolak kendati terdapat novum atau bukti baru.
Sejumlah organisasi HAM di Jakarta melakukan aksi keprihatinan sekaligus penolakannya terhadap eksekusi hukuman mati. Para aktivis HAM ini menilai, hukuman mati merupakan pelanggaran HAM berat (gross violation of human rigths).
Tidak hanya itu, gelombang aksi massa yang lebih besar pun terjadi di sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur hingga mencapai titik kemarahan tertinggi aksi massa beberapa saat pascaeksekusi terhadap Tibo cs dilakukan.
Setelah Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi, kini delapan orang lagi menunggu segera menghadapi eksekusi mati, tiga orang diantaranya adalah Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron alias Muklas. Mereka terpidana kasus bom Bali.
Seperti diketahui, setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya. Pasal pasal yang mengandung ancaman hukuman mati masih "hidup" dalam berbagai ketentuan hukum Indonesia, antara lain, beberapa pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, serta Undang Undang Anti-Terorisme. (FERDINANUS SAIK HASIMAN / RUHUT AMBARITA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar